oleh

INNOVATIVE ENTREPRENEUR DRAIN

Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, MBA.

Indonesia hari ini menghadapi paradoks besar: semangat berwirausaha tumbuh, tetapi kemampuan menciptakan inovasi justru cenderung stagnan. Data yang ada menunjukkan 99 persen dari 65 juta UMKM termasuk kategori usaha mikro—unit ekonomi yang menjadi tulang punggung keseharian rakyat, tetapi sebagian besar belum memiliki kapasitas teknologi, modal, atau riset untuk menghasilkan inovasi bernilai tinggi. Inilah yang membuat innovation-driven enterprise Indonesia masih relatif rendah. Pengusaha kita banyak, tetapi inovator kita sedikit. Jika ada yang menamai fenomena demikian sebagai “entrepreneur drain”, menurut saya yang lebih tepat adalah “innovative entrepreneur drain”.

Fenomena ini terjadi ketika regulasi sering berubah-ubah, birokrasi berlapis-lapis, dan kepastian hukum rapuh. Para wirausaha inovatif akan memilih pergi atau menahan diri. Di titik inilah ekonomi bukan hanya kehilangan uang, tetapi kehilangan masa depan.

Baca Juga  Rektor Institut Tazkia Diwisuda Lagi

Fenomena ini terlihat nyata pada kasus Bobibos, inovasi bahan bakar alternatif dari jerami yang dikembangkan setelah riset lebih dari satu dekade. Produk ini menawarkan efisiensi mesin tinggi dan emisi rendah—kombinasi yang sangat langka. Namun begitu muncul ke permukaan, Bobibos langsung berhadapan dengan tembok tebal regulasi: uji berlapis, perizinan bertahap, standar teknis yang tidak selalu jelas, dan absennya skema percepatan untuk inovasi energi baru. Secara prinsip, regulasi diperlukan. Namun ketika prosedur lebih dominan daripada semangat eksperimentasi, inovasi justru mati sebelum berjalan. Kasus Bobibos adalah cermin: anak bangsa ingin melompat, tetapi negara masih berjalan terseok.

Bobibos bukan satu-satunya. Banyak inovator di bidang pangan, energi, agritech, hingga healthtech mengeluhkan problem serupa. Mereka menghadapi situasi di mana keberanian teknis tidak diimbangi keberanian institusional. Negara terlihat mendorong inovasi pada level slogan, tetapi belum menyiapkan runway untuk tinggal landas. Di sinilah letak kontradiksi besar pembangunan ekonomi Indonesia: kita memuja inovasi, tetapi memelihara prosedur yang membuat inovasi tersendat.

Baca Juga  Sesuaikan Kamus Kompetensi Teknis dan Standar Kompetensi Jabatan dalam Dukung Transformasi Digital

Alhasil, sebagian pengusaha muda yang sebenarnya memiliki kapasitas teknologi memilih membangun perusahaannya di Singapura, Malaysia, bahkan Vietnam—bukan karena pasar di sana lebih besar, tetapi karena aturan lebih pasti, proses lebih singkat, dan negara lebih cepat mengeksekusi. Inilah bentuk paling sunyi dari entrepreneur drain: mereka tidak pergi karena tidak cinta Indonesia, tetapi karena Indonesia tidak menyediakan ruang bernapas bagi ambisi mereka.

Jika kondisi ini tidak berubah, Indonesia berisiko terjebak dalam “jebakan mikro”—bukan sekadar middle-income trap, tetapi kondisi di mana 99 persen pelaku usaha tetap menjadi mikro, dan inovasi bernilai tambah tinggi hanya menjadi cerita seminar. Ekonomi kita akan tumbuh, tetapi tidak bertansformasi; bergerak, tetapi tidak melompat.

Baca Juga  BKKBN Kaltim Gandeng Semesta Academy Tingkatkan Profesionalisme ASN lewat Workshop Public Speaking

Padahal, jalan keluar sebenarnya jelas. Indonesia membutuhkan ekosistem yang memberi tempat bagi innovation-driven entrepreneurship: regulasi yang adaptif, kepastian hukum yang kuat, dukungan teknologi yang konkret, insentif riset yang masuk akal, dan pola pikir negara yang berani memberi ruang bagi eksperimen. Kita membutuhkan negara yang tidak hanya mengatur, tetapi juga mengeksekusi; negara yang tidak hanya menjaga prosedur, tetapi mempercepat solusi.

Innovative entrepreneur drain bukanlah takdir. Ia adalah tanda bahwa sistem perlu diperbaiki. Bila negara mampu menghadirkan kepastian, menyederhanakan izin, dan mendukung inovasi lokal—termasuk memberi ruang bagi eksperimen seperti Bobibos—maka arus drain itu bisa dibalik. Para inovator tidak hanya bertahan, tetapi kembali percaya.

*Dosen Prodi Kewirausahaan Universitas BTH

News Feed