Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, S.Sos., MBA.
Di simpang jalur perdagangan dunia, Singapura adalah sebuah pulau kecil yang menjelma menjadi simpul strategis dari denyut kapitalisme Asia Tenggara. Transformasi negara ini bukanlah sebuah kebetulan sejarah, melainkan hasil dari rekayasa sosial, determinasi institusional, dan etos kewirausahaan yang dibangun di atas fondasi peradaban maritim yang telah berumur ratusan tahun. Memahami sejarah bisnis dan kewirausahaan Singapura tidak hanya memperkaya wacana historis, tetapi juga menjadi refleksi strategis bagi Indonesia dalam merumuskan arah pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan dan inovasi.
Jejak bisnis di Singapura dapat ditelusuri sejak masa pra-kolonial, ketika pulau ini dikenal dengan nama Temasek dalam naskah Tiongkok dan Melayu. Temasek adalah pelabuhan entrepôt — titik temu para pedagang dari Tiongkok, India, Arab, dan kepulauan Melayu. Ia bukan sekadar tempat transaksi komoditas, tetapi juga simpul interaksi budaya dan pertukaran pengetahuan. Dalam epistemologi maritim ini, benih kewirausahaan ditanam bukan dalam bentuk industri besar, melainkan dalam laku berniaga yang cair, adaptif, dan berbasis jaringan (network-based economy). Pedagang-pedagang kecil dari berbagai bangsa, termasuk orang Bugis dan Minangkabau, memperkuat struktur informal pasar-pasar di pesisir.
Era kolonial membawa perubahan drastis. Ketika Sir Stamford Raffles mendirikan pelabuhan bebas pada 1819, Singapura masuk dalam sirkuit kapitalisme kolonial Inggris. Dalam kerangka laissez-faire yang diterapkan Raffles, Singapura menjelma menjadi magnet bagi para imigran, terutama dari Tiongkok dan India. Kaum perantau ini menjadi pionir bisnis urban, dari sektor pelabuhan, ritel, hingga manufaktur skala kecil. Meskipun berlangsung dalam bayang-bayang imperialisme, momen ini menegaskan pentingnya politik keterbukaan (open access order) dalam menumbuhkan ekosistem kewirausahaan.
Pasca-kemerdekaan pada 1965, Singapura menghadapi tantangan eksistensial. Tanpa sumber daya alam, tanpa hinterland, dan dikelilingi oleh negara-negara yang kurang bersahabat secara geopolitik, Singapura memutuskan untuk membangun keunggulan kompetitif berbasis kualitas manusia dan institusi. Di sinilah muncul semangat “entrepreneurial state” yang direpresentasikan dalam kebijakan industrialisasi strategis, sistem pendidikan teknis yang adaptif, dan penguatan lembaga keuangan.
Keberhasilan Singapura tidak semata-mata karena keuletan para pelaku usaha, tetapi karena negara hadir sebagai arsitek kewirausahaan (architect of entrepreneurship). Pemerintah Singapura mendesain kerangka regulasi yang memudahkan bisnis, memberikan insentif pajak, dan menyediakan akses terhadap modal dan pasar global. Berbagai lembaga seperti Enterprise Singapore, Action Community for Entrepreneurship (ACE), hingga JTC Corporation menjadi ekosistem penyangga yang mendorong pertumbuhan UMKM dan startup berbasis teknologi.
Di abad ke-21, Singapura bertransformasi menjadi hub ekonomi digital. Dari Orchard hingga One-North, wirausaha muda memadukan nilai-nilai Konfusianisme seperti ketekunan dan keharmonisan, dengan semangat inovasi ala Silicon Valley. Kemunculan perusahaan seperti Carousell, Grab (sebelum pindah ke Indonesia), hingga paten-paten deep tech adalah manifestasi dari ekosistem inovatif yang berkelanjutan. Namun, di balik semua itu, tetap berdiri teguh etika niaga yang bertumpu pada meritokrasi, integritas, dan keterbukaan pada perubahan.
Lantas, apa yang bisa dipelajari oleh Indonesia dari narasi kewirausahaan Singapura?
Pertama, Indonesia perlu menata ulang paradigma pembangunan UMKM. Selama ini, UMKM kerap diposisikan sebagai sektor yang “perlu dikasihani”, bukan sebagai aktor ekonomi strategis. Padahal, UMKM mencakup lebih dari 99% unit usaha di Indonesia. Yang dibutuhkan bukan hanya bantuan, tetapi desain institusi yang mendorong mereka naik kelas. Singapura menunjukkan bahwa negara bukan hanya regulator, tetapi juga fasilitator dan akselerator.
Kedua, pentingnya membangun ekosistem kewirausahaan yang terintegrasi — mulai dari pendidikan kewirausahaan di sekolah, inkubator bisnis, akses pembiayaan berbasis resiko (venture capital), hingga keterhubungan global (cross-border collaboration). Singapura tidak melihat bisnis sebagai arena yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari jaringan pengetahuan, teknologi, dan budaya. Dalam hal ini, Indonesia dapat memperkuat kolaborasi antara universitas, pemerintah daerah, dan sektor swasta melalui triple helix model.
Ketiga, refleksi mendalam perlu dilakukan terhadap aspek budaya bisnis. Jika Singapura mengakar pada ethos Konfusianisme dan kolonialisme Inggris yang mendorong etika kerja tinggi dan rule of law, maka Indonesia perlu merevitalisasi nilai-nilai lokal seperti gotong royong, kepatuhan sosial, dan semangat dagang dalam Islam menjadi kerangka kerja baru kewirausahaan sosial (social entrepreneurship). Kearifan lokal bukanlah beban sejarah, melainkan energi transformatif.
Namun, perlu dicatat bahwa model Singapura tidak bisa direplikasi secara literal. Ukuran geografis yang kecil, homogenitas populasi, dan sistem politik yang sentralistik membuat model itu unik. Yang bisa diadopsi bukan bentuknya, tetapi semangatnya: keberanian untuk membangun desain besar (grand design), konsistensi dalam eksekusi, dan komitmen pada keberlanjutan.
Dalam konteks geopolitik baru yang ditandai dengan disrupsi teknologi dan ketidakpastian global, Indonesia membutuhkan kelas wirausaha baru yang tidak hanya tangguh secara ekonomi, tetapi juga visioner secara sosial. Wirausaha yang tidak hanya mengejar keuntungan (profit-seeking), tetapi juga membangun makna (meaning-making) dan keadilan (justice-making). Di sinilah peran sejarah Singapura sebagai cermin reflektif: bahwa kewirausahaan bukanlah jalan pintas menuju kekayaan, tetapi laku panjang menuju peradaban.
*Penulis adalah Dosen Kewirausahaan Universitas BTH & Direktur Kemitraan Perkumpulan Program Studi Kewirausahaan Indonesia (APSKI)