Balioke.co – Pemilu 2024 semakin dekat. Figur-figur Capres potensial sudah semakin bermunculan. Latar belakang mereka cukup beragam. Yang saat ini menjabat sebagai Gubernur ada nama-nama seperti Anies Baswedan (DKI Jakarta), Ganjar Pranowo (Jawa Tengah), Ridwan Kamil (Jawa Barat) dan Khofifah Indar Parawansa (Jawa Timur).
Dari kelompok ketua-ketua atau pimpinan-pimpinan partai ada Prabowo Subianto (Gerindra), Puan Maharani (PDI-P), Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat), Airlangga Hartarto (Golkar), Muhaimin Iskandar (PKB), Surya Paloh (Nasdem). Nama-nama lain yang juga populer antara lain Sandiaga Uno dan Tri Rismaharini.
Jika mayoritas partai telah mengorbitkan nama-nama jagoannya, saya belum mendengar nama-nama Capres yang diajukan oleh PAN, PKS dan PPP. Menurut saya, sebetulnya ada beberapa figur dari partai-partai tersebut yang potensial. Dari PAN ada Soetrisno Bachir dan Zulkifli Hasan, dari PKS ada Hidayat Nurwahid dan Salim Segaf Al-Jufri, serta dari PPP ada Suharso Monoarfa.
Sejak dulu ada pertanyaan yang sering muncul dari pikiran saya: apakah latar belakang seorang Presiden itu penting bagi kemajuan bangsa dan negara ini? Mari kita lihat. Soekarno punya latar belakang politisi dan intelektual. Soeharto berlatarbelakang militer. Habibie berangkat dari seorang teknokrat. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seorang intelektual dan aktivis sosial-keagamaan. Megawati seorang politisi. SBY berlatarbelakang militer-intelek. Joko Widodo berangkat dari profesi pengusaha.
Masing-masing Presiden tersebut sejatinya memiliki high points dan low points masing-masing. Semuanya meninggalkan warisan (legacy) di era mereka masing-masing. Sebagaimana kata orang bijak “setiap zaman ada tokohnya, setiap tokoh ada zamannya”.
Namun, dari Presiden ke Presiden yang pernah dimiliki oleh Republik ini, Soeharto dan Jokowi terbilang yang paling menonjol dari sisi pembangunan/kemajuan infrastruktur. Keduanya memiliki sisi lemah (low points), iya. Soeharto memiliki problem dalam isu otoritarianisme dan oligarki (menciptakan korupsi), sementara Jokowi mempunya problem di isu pelambatan ekonomi, pelemahan demokrasi dan keretakan sosial.
Sebetulnya, jika fokus bangsa-negara ini adalah kemajuan di berbagai bidang, dimana pembangunan ekonomi dan industri sebagai drivernya, ke depan kita membutuhkan Presiden berkarakter “entrepreneurial”. Mungkin ada yang bertanya, bukankah figur dari militer seperti Soeharto terbukti memajukan ekonomi dan infrastruktur, kenapa ke depan Presiden tidak dari militer saja, yang jelas-jelas tegas dan kuat?
Jawaban saya, di masa-masa awal (fase start-up) Republik ini memang lebih butuh figur yang kuat. Sehingga Presiden Soekarno dan Soeharto merupakan sosok yang tepat bagi Indonesia di paruh abad pertama pasca Merdeka. Di paruh abad kedua, terutama di abad-21, adalah eranya entrepreneur. Merekalah yang akan meng-inovasi pembangunan, memberikan nilai tambah (value added), menciptakan terobosan-terobosan baru, meski dengan resiko-resiko baru.
Kita tentu berterima kasih atas legacy Presiden-presiden sebelumnya di fase “start-up”, karena mereka telah membangun fondasi yang kuat. Saat ini, di fase “growth” menuju “maturity”, kita butuh Presiden yang lebih agile, kreatif-inovatif, risk-taking, dan futuristik. Namun bukan berarti sosoknya tidak membumi. Kita butuh sosok yang visioner, namun tetap membumi.
SIAPA?
Dari sekian nama-nama yang saya sebutkan di awal tulisan ini, ada beberapa nama yang secara profesional berlatarbelakang sebagai entrepreneur: Prabowo Subianto (Gerindra), Airlangga Hartarto (Golkar), Sandiaga Uno, Surya Paloh (Nasdem), Soetrisno Bachir (PAN) dan Suharso Monoarfa (PPP). Nah, kebetulan mayoritas nama tersebut merupakan bagian dari partai-partai politik yang hari ini terwakili di DPR.
Yang menarik, jika kita sortir lagi nama-nama tersebut yang berasal dari Jawa (sebagaimana tipikal Presiden-Presiden sebelumnya yang “Jawa” – sebetulnya hal ini wajar mengingat populasi Jawa sekitar 40%), maka hanya tinggal tiga nama: Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto dan Soetrisno Bachir.
Saya kira, jika ketiga nama tersebut memutuskan untuk maju dalam bursa Capres-Cawapres, ketiganya terbilang sangat potensial. Prabowo dan Airlangga memang tampaknya sudah “mempresentasikan” diri mereka sebagai Capres. Namun, Soetrisno Bachir (SB) belum dimunculkan oleh partainya, PAN, sebagai Capres. Padahal, menurut saya, tokoh entrepreneur seperti SB adalah figur yang sangat dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini.
Jika dibandingkan dengan Prabowo dan Airlangga, mereka sama-sama entrepreneur, dan juga politisi. Namun, sosok SB jauh lebih membumi. Ia memiliki latar belakang keluarga dan basis sosial-keagamaan yang kuat. Selama ini, SB memang dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah.
Namun, tidak banyak yang tahu, bahwa ia memiliki gen NU (Nahdhiyyin) yang kental dari pihak ayahnya, Bachir Ahmad. Bahkan, kakaknya, Kamaluddin Bachir, sangat dekat dengan Gus Dur. Tiap kali berkunjung ke Pekalongan, Gus Dur seringkali menginap di rumah kakaknya.
SB sejatinya merupakan sosok yang mudah diterima dimana saja. Di organisasi sosial-keagamaan, saya kira ia bisa diterima di Muhammadiyah dan NU, dan dengan latarbelakangnya sebagai mantan aktivis PII dan HMI yang keanggotaannya cukup plural, ia juga bisa diterima di berbagai komunitas sosial lintas mazhab dan lintas tradisi.
Apalagi didukung pengalamannya di pentas politik nasional, menjadikannya sebagai figur yang terbuka, moderat, inklusif, nasionalis sekaligus relijius. Profesinya sebagai entrepreneur, membuatnya mampu dan terbiasa bekerja dengan siapapun, dengan semangat kolaboratif.
Dalam beberapa kesempatan acara dimana beliau sebagai pembicara, saya melihatnya sebagai sosok yang benar-benar tipikal entrepreneur: positive thinking, berani mengambil resiko meski terkadang melawan arus, terbuka dengan perubahan, mampu membaca peluang dan berpikir maju kedepan.
Sejatinya ia juga seorang intelektual, yang memiliki pengetahuan, visi dan misi pembangunan ekonomi untuk bangsa ini. Tidak banyak yang tahu, ia telah menghasilkan beberapa judul buku, salah satunya berjudul “Membangun Kemandirian Bangsa”.
Pengalamannya di organisasi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan terahir menjabat sebagai ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), ditambah pengalaman politiknya sebagai ketua PAN (2005-2010), apalagi seorang Jawa berdarah Muhammadiyah dan NU, sejatinya merupakan modalitas yang lebih dari cukup untuk memimpin bangsa ini di kemudian hari.
Tidak banyak sosok dengan latar belakang dan pengalaman komplit seperti SB yang dimiliki bangsa ini. Publik harus mulai terbuka, tidak hanya melihat sosok-sosok yang “itu itu saja”.
Penulis:
Moh. Ikhsan Kurnia, S.Sos., MBA.
(Berprofesi sebagai Dosen Kewirausahaan, tinggal di Tasikmalaya).