oleh

KH Ma’ruf Amin: SMSI Harus Jadi Rumah Kalimatun Sawa di Tengah Bangsa

Oleh: Yoga Rifai Hamzah
(Direktur Big Data dan Media Insight SMSI)

SELASA pagi, 4 November, udara di kediaman KH Ma’ruf Amin terasa sejuk dan bersahaja. Sekitar pukul 09.30 hingga 12.00 WIB, suasana halaman rumah Wakil Presiden RI ke-13 itu berubah menjadi ruang dialog penuh makna.

Rombongan pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) datang bersilaturahmi. Namun pertemuan itu bukan sekadar seremoni. Dalam keheningan yang sesekali diselingi tawa ringan, mengalir nasihat yang menyejukkan tentang Banten, media, dan masa depan bangsa.

Dari Tanara: Jejak Ulama dan Peradaban

KH Ma’ruf memulai dengan sebuah pengantar yang sederhana tapi menggetarkan.
“Kalau kita bicara tentang Banten,” katanya, “maka kita bicara tentang akar.”
Ia menuturkan kisah Tanara, kampung kelahirannya di Kabupaten Serang, yang sejak dahulu menjadi sumber ilmu dan spiritualitas. “Tanara itu bukan sekadar desa,” ujarnya, “tapi tempat lahirnya kesadaran: iman, ilmu, dan harga diri.”
Dari Tanara, beliau menautkan kisah Syaikh Nawawi al-Bantani, ulama besar abad ke-19 yang namanya dikenal luas hingga ke Timur Tengah. “Syaikh Nawawi itu bukan hanya ulama, beliau adalah guru bangsa,” ujar KH Ma’ruf.

Beliau menjelaskan, Syaikh Nawawi memiliki banyak murid yang kelak menjadi tokoh penting dalam sejarah Islam dan kebangsaan Indonesia—di antaranya KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan ulama-ulama Perti di Sumatera Barat.
“Bayangkan,” kata KH Ma’ruf, “dari satu tanah kecil di Tanara, lahir pengaruh yang mengalir ke seluruh Nusantara. Dari Banten, lahir pencerahan yang menumbuhkan Muhammadiyah, NU, Perti, dan banyak gerakan Islam moderat lainnya. Itu bukti bahwa ilmu yang berakar bisa tumbuh jadi peradaban.”

Bagi KH Ma’ruf, warisan Syaikh Nawawi bukan sekadar kitab, tapi jalan berpikir — jalan tengah: moderat, rasional, dan terbuka. “Itulah kalimatun sawaa dalam bentuknya yang hidup,” katanya. “Kesamaan nilai dalam keragaman ekspresi.”

Baca Juga  Gerindra Arab Saudi Siap Menangkan Prabowo Presiden 2024

Geger Cilegon: Spirit Kebangkitan dari Banten

Dalam percakapan yang semakin dalam, KH Ma’ruf mengangkat peristiwa Geger Cilegon 1888 — sebuah momentum penting yang, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, menjadi pijakan sosiologis kebangkitan nasional.

“Menurut Sartono,” tuturnya, “Geger Cilegon bukan sekadar pemberontakan petani. Itu kesadaran rakyat yang menolak ketidakadilan atas dasar iman.”

Dari situ, KH Ma’ruf menekankan bahwa Banten punya tradisi panjang perlawanan dan kesadaran moral. “Dari ulama hingga rakyat kecil, Banten mengajarkan kita: kalau iman diganggu, rakyat akan bangkit.”
Karena itu, lanjutnya, revitalisasi Banten bukan proyek nostalgia, melainkan proyek kesadaran. “Kita harus bangun kembali bukan hanya masjid dan artefaknya, tapi juga jiwanya—jiwa perjuangan dan akhlak.”

Revitalisasi dan Modernitas: Menjaga Akar, Menyongsong Masa Depan

KH Ma’ruf menegaskan bahwa revitalisasi Banten harus dimaknai sebagai upaya mengintegrasikan nilai-nilai sejarah ke dalam dunia modern.

“Modernitas itu tidak boleh memutus akar,” katanya. “Kita boleh maju, tapi jangan kehilangan arah. Banten harus berkemajuan, tapi tetap berjiwa.”

Ia menyinggung pula rencana Hari Pers Nasional (HPN) 2025 yang akan digelar di Banten, dan menyebutnya sebagai pemilihan tempat yang sangat tepat.
“Kalau HPN nanti di Banten,” ujar beliau, “itu bukan hanya soal lokasi. Itu simbol. Karena di tanah ini dulu para ulama dan rakyat berjuang dengan pena, doa, dan keberanian. Banten itu cocok jadi tuan rumah kebangkitan nalar dan moral media.”

Kiai berharap HPN di Banten bisa menjadi momentum bagi insan pers untuk meneladani para ulama yang menulis bukan demi sensasi, tapi demi pencerahan. “Pers itu juga bentuk dakwah. Dakwah dengan pena, bukan dengan amarah,” katanya.

Baca Juga  Sapta Nirwandar: RI Tuan Rumah Global Tourism Forum 15-16 September 2021 Libatkan 101 Pembicara Kelas Dunia

Kalimatun Sawa dan Ahwa-Ahum: Dua Jalan, Dua Nasib

Setelah berbicara panjang tentang sejarah, KH Ma’ruf mengarahkan nasihatnya kepada dunia media yang kini diwakili SMSI.

Dia mengutip dua konsep dari Al-Qur’an: kalimatun sawaa dan ahwa-ahum. “Kalimatun sawaa,” ujarnya lembut, “adalah kalimat yang sama—titik temu di tengah perbedaan. Di situlah kita harus berdiri.”

Menurut dia. bangsa Indonesia tidak akan utuh tanpa mencari titik temu. “Kita tidak harus seragam, tapi kita harus sejiwa,” katanya.
Namun kiai juga memberi peringatan tentang ahwa-ahum—dari akar kata hawaa, yang berarti keinginan, hawa nafsu, atau kecenderungan egois.

“Kalau media dikuasai ahwa-ahum, maka kebenaran bisa disesatkan,” tegasnya. “Media jangan jadi alat kelompok, jangan jadi corong kepentingan. Jadilah cermin bagi nurani bangsa.”

SMSI: Dari Kalimatun Sawa Menuju Peradaban Digital yang Beradab

Dalam kesempatan itu, Ketua Umum SMSI Pusat, Firdaus, menyampaikan peran dan kiprah SMSI yang kini menaungi lebih dari 3.000 media online di seluruh Indonesia.

“SMSI ini lahir dari semangat kolaborasi,” kata Ketua SMSI ini. “Kami ingin menjadikan media siber sebagai kekuatan moral baru—media yang independen, profesional, tapi juga berjiwa kebangsaan.”
Ia menjelaskan, SMSI kini bukan hanya asosiasi pers, tetapi gerakan kebangsaan berbasis media digital, dengan fokus pada peningkatan literasi, kolaborasi antarmedia, dan penguatan ekosistem digital daerah.

“Kami ingin SMSI menjadi payung besar media lokal yang berdaya, tapi tetap beretika,” ujarnya. “Kita ingin maju bersama, bukan saling menyingkirkan.”
KH Ma’ruf menyambutnya dengan senyum dan nasihat yang lembut:
“SMSI ini,” ujarnya, “harus jadi rumah kalimatun sawaa. Di tengah bangsa yang kadang retak oleh opini dan kepentingan, SMSI harus berdiri di tengah—tempat keseimbangan moral media Indonesia.”

Baca Juga  Diundang KSAD, Ketua MUI, Wapres Bakal Akan Hadiri Isra Mi'raj di Cianjur

Kiai lalu memberi perumpamaan yang menyejukkan:
“Media itu ibarat lentera. Kalau cahayanya dipakai untuk menerangi, orang akan selamat berjalan. Tapi kalau diarahkan sembarangan, bisa membutakan mata dan hati.”

Ia menambahkan, “Kalian hidup di zaman di mana klik lebih cepat dari pikir. Tapi jangan biarkan kecepatan mengalahkan kebijaksanaan.”

Menurut KH Ma’ruf, SMSI punya tanggung jawab besar untuk menegakkan kalimatun sawaa di tengah masyarakat, dan menolak ahwa-ahum di dalam tubuhnya sendiri.

“Kalau kalian bisa menjaga keseimbangan antara kecepatan dan kebenaran, antara kebebasan dan tanggung jawab,” ujarnya, “maka SMSI bukan sekadar organisasi media. SMSI adalah penjaga peradaban digital bangsa.”

Dari Tanara ke Tanah Air: Jalan Tengah Peradaban

Menjelang tengah hari, pertemuan itu berakhir dengan kehangatan. Namun pesan-pesan KH Ma’ruf Amin dan Firdaus terasa menetap dalam benak. Keduanya bicara dalam bahasa yang berbeda—yang satu bahasa hikmah, yang satu bahasa kebijakan—tapi keduanya berpadu dalam satu napas: pengabdian bagi bangsa melalui kebenaran.

Revitalisasi Banten yang diuraikan KH Ma’ruf sesungguhnya sejalan dengan revitalisasi media yang diperjuangkan SMSI.
Dari Tanara yang melahirkan ulama, dari Geger Cilegon yang membangkitkan kesadaran nasional, hingga Banten yang akan menjadi tuan rumah HPN 2025, semuanya terhubung oleh satu benang merah: semangat untuk menjaga akal sehat bangsa.

“Kalau SMSI bisa menegakkan kebenaran tanpa kehilangan kasih sayang, dan mengkritik tanpa kehilangan adab,” ujar KH Ma’ruf menutup pembicaraan, “maka SMSI telah berjalan di jalan para ulama—jalan tengah bangsa.”

Dan di situlah kalimatun sawaa menemukan makna paling hakiki: sebagai jembatan antara masa lalu yang bijak dan masa depan yang beradab

News Feed